Minggu, 19 mey 2024
Oleh: Komunitas Klinik Edukasi Owi; Desa Owi, Biak Numfor
![]() |
| itro.ronsumbre copyright |
Bagi suku Biak Numfor, manusia adalah bagian dari alam yang harus dihormati. Tanah dan laut diibaratkan ibu atau mama yang menyediakan air susu bagi anak-anaknya, yaitu warga masyarakat yang tinggal untuk mencari penghidupan. Kalau air susu ibu itu habis dikuras, apalagi dirusak, maka mama akan mati. Saat itulah orang-orang juga banyak yang sengsara atau miskin. Karena itu, kelestarian laut sebagai sumber kehidupan mesti dijaga.
-----------------------------------------------------------------------
Kabupaten Biak Numfor adalah salah satu kabuaten kepulauan yang ada di Provinsi Papua. Tak heran jika masyarakat yang ada di Biak sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. Suku Biak sejak dulu juga terkenal sebagai pelaut ulung, berlayar menggunakan perahu berbekal alat navigasi alami dengan melihat posisi bintang dan arah bumi. Mereka menyusuri pantai utara dan barat Papua, bahkan sampai ke Kepulauan Maluku. Di Tidore bahkan ada sebuah kampung yang penduduknya berasal dari Papua. Karena kehebatan di laut, mereka diangkat oleh Sultan Tidore kala itu menjadi pasukan angkatan laut yang dipimpin oleh Gurabesi yang berasal dari Biak.
Selain pandai berlayar, suku Biak juga memiliki pengetahuan lokal menjaga sumber daya perairan. Begitu juga masyarakat Pulau Owi, memiliki tradisi yang disebut molo, balobe dan bameti untuk menjaga biota laut dalam mencari ikan. Kepercayaan mitologi, kemudian beberapa kearifan lokal yang mereka praktikkan sehari-hari adalah cara dalam menjaga kelestarian biota laut.
Pulau Owi terletak di selatan Biak, terpisah dari daratan besar dan merupakan pulau terdekat dengan kota Biak. Pulau Owi mempunyai tradisi, kebudayaan, dan peninggalan sejarah yang penting serta bisa menjadi potensi daerah wisata baru di Kabupaten Biak Numfor. Pulau Owi terdapat landasan udara peninggalan Perang Dunia II, tong bekas bahan bakar tank dan bahkan lonceng sekolah menggunakan bekas rudal yang sudah tak aktif lagi. Namun, tradisi dan kebudayaan masyarakat setempat dalam mencari ikan dengan tetap menjaga ekosistem biota lautlah yang menjadi keunikan dan daya tarik dari Pulau Owi.
Tradisi “molo”, “balobe”, dan “bameti”
Molo ialah menangkap ikan dengan cara menyelam di kedalaman laut dengan menggunakan kacamata molo dan dilengkapi senapan panah yang dibuat dari kayu. Molo dalam bahasa suku Biak berarti “menyelam” untuk menangkap ikan, menggunakan alat bantu berupa panah ikan atau peluru pelontar dari kawat yang ditajamkan ujungnya. Molo biasanya dilakukan oleh anak-anak dan orang dewasa dalam menangkap ikan. Anak kecil sudah terbiasa dengan alat molo, yakni kacamata molo yang bentuknya mirip kacamata renang, dilengkapi tombak atau senapan panah.
Tradisi molo ini sudah berlangsung sejak lama. Secara turun-temurun tradisi ini diwariskan kepada generasi yang lebih muda. Uniknya, penyelaman dilakukan tanpa alat selam. Jadi, seberapa lama penyelaman itu berlangsung sangat bergantung pada kekuatan pernapasan nelayannya. Umumnya, penyelaman bisa menghabiskan waktu antara 2-3 jam, dengan kedalaman yang beragam, sekitar 5 – 10 meter untuk memburu tangkapannya.
Kegiatan ini biasanya dilakukan pada malam hari saat bulan tak bersinar atau lebih dikenal dengan sebutan dialek “bulan gelap”. Diyakini, dalam kondisi seperti itu kepekaan ikan jauh berkurang dan ikan akan diam, sehingga dengan mudah bisa ditangkap. Alhasil, para nelayan pun bisa membawa pulang hasil tangkapan yang cukup banyak. Akan tetapi kegiatan menangkap ikan bisa juga pada siang atau sore hari saat keadaan laut “teduh”, sebutan masyarakat Owi saat laut tenang. Bila laut dalam keadaan “teduh” tanpa ada gelombang dan arus yang kencang, molo bisa dilakukan pada saat situasi tersebut.
Tradisi menangkap hasil laut pola subsisten untuk kebutuhan makan sehari-hari dengan menggunakan peralatan yang sederhana oleh masyarakat Biak dan masyarakat Pulau Owi ini adalah nilai-nilai budaya dalam bentuk kearifan lokal, yang ikut membantu upaya konservasi alam, utamanya terhadap Taman Laut Nasional Teluk Cenderawasih yang sangat kaya biota lautnya. Kegiatan penangkapan ikan yang hanya diperkenankan menggunakan alat sederhana seperti pancing tanpa umpan atau bacigi ini, sehingga tidak merusak sumber daya laut, hasilnya sekadar untuk bisa hidup sehari-hari, dikenal dengan tradisi molo dan balobe.
Balobe itu sendiri adalah tradisi mencari hasil laut pada malam hari pada saat bulan gelap dengan menggunakan alat tombak dari kayu. Cara menangkap ikan yang satu ini cukup unik dan khas. Hanya mengandalkan alat tangkap ikan yang tergolong kuno, yakni tombak, ditopang ketajaman insting. Tombak terbuat dari kayu, dilengkapi besi bermata tiga yang sangat tajam pada ujungnya, yang oleh masyarakat Owi disebut kalawai.
Hanya menggunakan insting nelayan sudah mengetahui waktu yang tepat dengan melihat kondisi alam. Bulan gelap menunjukkan kerumunan ikan tidak akan jauh-jauh berekspansi atau memiliki penglihatan yang terbatas sehingga ikan tampak jinak. Dibantu oleh penerang lampu petromaks, pelobe (orang yang melakukan balobe) sangat mahir menghujamkan tombak mengenai sasarannya. Dari balobe masyarakat Pulau Owi membawa pulang hasil tangkapan berupa ikan, udang lobster, teripang, dan gurita. Menangkap ikan dengan kalawai tidak merusak biota laut karena sasaran tombak sangat selektif. Berbeda kalau menggunakan bahan racun, bom atau alat setrum ikan yang dapat merusak lingkungan dan berbahaya bagi pelobe itu sendiri.
Jauh sebelum ditemukan alat tangkap ikan di Papua, masyarakat suku Biak—khususnya di Biak Numfor—hanya mengenal tradisi bameti. Bameti adalah kegiatan memungut hasil-hasil laut ketika air laut sedang surut atau dalam bahasa setempat disebut air laut sedang meti, berlangsung pada malam maupun siang hari. Biasanya, di daerah pesisir yang landai dan menjorok, ketika laut surut akan tampak kolam-kolam kecil dan batu karang.
Berbeda dengan balobe yang biasa dilakukan oleh nelayan, kegiatan bameti umumnya dilakukan oleh tiap-tiap keluarga untuk mengisi waktu-waktu senggang sambil rekreasi, sekaligus dimanfaatkan sebagai ajang pertemuan dengan keluarga yang lain dalam satu kampung. Pasalnya, dalam tradisi ini kegiatan utamanya cuma memungut hasil laut ketika air laut sedang surut.
Bameti menggunakan peralatan seadanya, seperti panah dari lidi yang memanfaatkan karet gelang lalu ditembakkan, alat cungkil kerang, dan baskom/serok penangkap ikan. Umumnya warga mencari ikan karang, udang lobster yang terdampar dan beragam jenis kerang laut, serta bia/tiram. Hasil buruan akan dimakan dengan cara dibakar di tepi pantai, kalau ada sisanya baru dibawa pulang untuk dimakan sendiri atau dibagikan kepada tetangga.
Bahkan kini bameti digunakan sebagai ajang festival budaya dan pariwisata tahunan Kabupaten Biak Numfor, yang dikenal dengan Festival Munara Wampasi. Hal itu tak lepas dari keunikan tradisi bameti, sehingga saat air laut surut banyak warga berbondong-bondong ke tepi pantai menyusuri setiap karang, cekungan dan teluk yang ada di Pulau Owi. Terlebih bila meti alias air laut sedang surut pada sore hari, ketika bunyi lonceng desa berarti tanda waktu menunjukan pukul 15.00 waktu setempat, maka masyarakat—dari anak-anak hingga dewasa, juga mama-mama—pun turun ke pantai untuk mencari ikan.
Bentuk kearifan lokal lainnya, dalam kurun waktu setahun sekali masyarakat Pulau Owi akan melakukan ritual lepas rumpon, yakni rumah ikan atau tempat sebagai “pemanggil” ikan agar berkumpul sehingga mudah untuk dipancing. Terbuat dari tabung besi besar dan panjang, rumpon biasanya berdiameter hampir satu meter dan panjang 3-4 meter. Sebelum rumpon dilepas, terlebih dahulu kepala adat dan pendeta akan melakukan upacara adat dan beroda bersama masyarakat. Kepala adat/suku akan membuat sesajen berupa sirih-pinang dan lola atau batulaga sebagai simbol pembayaran pada alam. Sesajen ini akan disiapkan dalam sebuah piring dan kemudian ditumpahkan ke laut. Ritual ini seakan mengisyaratkan rasa syukur dan penghormatan masyarakat Pulau Owi kepada alam.
Setelah rumpon tersebut diletakkan di dasar laut yang diperkirakan banyak ikan akan datang. Minggu berikutnya barulah masyarakat akan mulai mencari ikan dengan molo dan balobe. Bunyi lonceng desa akan berkumandang menandakan musim ikan datang, atau pada saat terang bulan akan ada bunyi lonceng untuk mengingatkan masyarakat yang akan mencari ikan, baik memancing, menjaring, balobe ataupun molo.
Masyarakat Pulau Owi dan suku Biak umumnya sangat percaya bahwa laut memiliki kekuatan gaib yang dapat menjadi sumber kebaikan dan kesejahteraan bagi masyarakat bila tetap menjaga keselarasan dengan "penguasa" laut. Sebaliknya, jika laut tak dijaga kelestariannya, mereka percaya akan mendapat bencana seperti gelombang tinggi, cuaca buruk, orang yang mati tenggelam atau diserang ikan hiu, serta berkurangnya hasil tangkapan ikan bagi nelayan.
Ada kawasan pulau, pantai dan laut yang disakralkan yang dijaga oleh suanggi (setan laut). Setiap orang yang melewati kawasan itu harus memberi salam dan mempersembahkan saji-sajian. Tidak boleh berbuat jahat seperti membuang sampah, berkata kotor, menangkap penyu, dan dilarang melaut kalau melihat ikan paus.
Adanya tradisi serta berbagai bentuk mitos dan simbol-simbol dari alam yang diwariskan oleh nenek moyang tersebut telah membentuk kebiasaan atau pengalaman masyarakat tentang "hari baik" beraktivitas di laut dengan memprediksi kondisi alam. Sebutlah seperti iklim, arus, gelombang, adanya migrasi burung-burung untuk menentukan lokasi kumpulan ikan, jenis ikan, penyu bertelur dan kondisi biota laut lainnya. Hari Minggu adalah hari pantangan bagi nelayan dan masyarakat untuk mencari ikan. Selain diguanakan sebagai hari Ibadah ke Gereja dan beristirahat, pada hari Minggu kegiatan masyarakat diisi dengan kegiatan memperbaiki jala yang rusak, menganyam jaring, membetulkan perahu, serta digunakan sebagai waktu berkumpul bersama sanak saudara yang berkunjung dari luar kampung.
Bagi suku Biak Numfor, manusia adalah bagian dari alam yang harus dihormati. Tanah dan laut diibaratkan ibu atau mama yang menyediakan air susu bagi anak-anaknya, yaitu warga masyarakat yang tinggal untuk mencari penghidupan. Kalau air susu ibu itu habis dikuras, apalagi dirusak, maka mama akan mati. Saat itulah orang-orang juga banyak yang sengsara atau miskin.
Aturan adat menyelamatkan laut
Turun-temurun hidup di laut, masyarakat adat di Pulau Owi, Biak dan Papua pesisir pada umunya terkenal dengan lingkungan lautnya dan paham bagaimana menjaganya. Mereka memiliki tradisi menjaga kelangsungan lingkungan sebagai penghormatan terhadap alam yang menjadi sumber penghidupan mereka. Tradisi tersebut merupakan praktik konservasi tradisional yang terus dilaksanakan hingga kini. Salah satu upaya mereka menjaga ekosistem laut yaitu dengan tradisi "Sasi". Tradisi yang juga ada di beberapa daerah di Maluku ini merupakan hukum adat yang melarang pengambilan hasil sumber daya alam tertentu di wilayah adat, sebagai wujud pelestarian alam dan menjaga populasi.
Membaca budaya masyarakat adat Papua tentang relasi dengan wilayah pesisir di atas telah melahirkan aturan adat tentang pola penangkapan ikan, sistem menjaga dan memelihara sumber daya laut, serta ikut menjaga kehidupan masyarakat nelayan yang tinggal di wilayah pantai dan pulau. “Sasi” adalah hukum adat yang melekat di masyarakat Papua, tak terkecuali masyarakat Pulau Owi. Hukum adat adalah aturan yang tak boleh dilanggar oleh siapa pun. Tetua adat terlebih dahulu melakukan ritual sebelum turun ke laut dengan memberitahu aturan yang harus dipatuhi: Dalam jangka waktu tertentu dipersilakan warganya mencari dan mengumpulkan potensi laut sebanyak-banyaknya dengan menggunakan alat yang sederhana, seperti pancing dan kalawai (tombak kayu bermata logam tajam), tetapi dilarang menggunakan bom, potasium atau jenis racun apa pun. Ketika masuk periode larangan, maka tidak dibolehkan ada aktivitas di laut.
“Sasi” laut merupakan peraturan adat di mana masyarakat dilarang mengambil hasil laut yang ditentukan di suatu wilayah adat dalam jangka waktu tertentu hingga ritual pembukaan “Sasi” tiba. Hal ini bertujuan agar sumber daya laut yang dilindungi punya cukup waktu untuk berkembang biak dengan baik, sehingga hasil panennya akan lebih banyak. Siapa yang kedapatan melanggar, akan dikenakan denda. Denda yang diberikan bisa berupa piring, perhiasan mahal, atau bahkan uang dengan nilai tertentu. Para pelanggar juga akan mendapat sanksi sosial berupa pengucilan dari masyarakat. Mereka tidak akan diberi kesempatan untuk turut serta menikmati acara buka “Sasi” dan panen hasil. Masyarakat juga percaya bahwa orang yang melanggar “Sasi” akan mendapat 'teguran' dari alam
Walaupun aturan tersebut belum dibuat secara tertulis, tetapi larangan-larangan yang disampaikan secara lisan dalam setiap acara atau ritual adat itu bersifat mengikat. Mulai dari larang melakukan pemboman; peracunan dan pembiusan, penyetruman dengan alat listrik, hingga pengambilan terumbu karang dan penggunaan bahan-bahan lain yang dapat merusak lingkungan hidup dan biota lainnya. Demikian juga larangan menebang atau merusak pohon-pohon kayu di pesisir atau pantai seperti pohon bakau, ketapang, dan sagu, serta melarang menangkap biota laut yang dilindungi seperti lumba-lumba dan penyu. Melestarikan adat istiadat dan tradisi adalah bentuk dari upaya masyarakat Owi menjaga ekosistem laut agar tetap lestari dari generasi ke genarasi.®



0 komentar:
Posting Komentar